Anak Jadi Korban Deepfake AI? Ini 6 Cara Pulihkannya


Ilustrasi Deepfake New

Ilustrasi Deepfake New

Kasus video deepfake AI porno yang mengguncang publik di Semarang menjadi pengingat keras tentang bahaya penyalahgunaan teknologi kecerdasan buatan. Aksi manipulasi wajah menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang dilakukan oleh seorang alumni terhadap guru dan siswa SMA menimbulkan luka sosial sekaligus trauma mendalam bagi korban. Di balik kecanggihan teknologi, ada sisi gelap yang dapat menghancurkan rasa aman dan harga diri seseorang.

Dalam situasi seperti ini, peran orangtua sangat krusial untuk membantu anak pulih dari luka emosional yang diakibatkan oleh kekerasan digital. Menurut psikolog Meity Arianty, ada enam langkah penting yang bisa dilakukan orangtua agar anak dapat kembali merasa aman, percaya diri, dan tidak tenggelam dalam trauma. Artikel ini akan mengulas langkah-langkah tersebut secara mendalam agar para orangtua dapat memahami cara terbaik mendampingi anak dalam menghadapi era digital yang semakin kompleks.

  1. Mendengarkan Anak Tanpa Menghakimi
    Langkah pertama dan paling penting adalah mendengarkan anak dengan empati. Ketika anak menjadi korban atau terdampak kasus semacam deepfake, respons pertama dari orangtua bisa menentukan seberapa cepat proses pemulihan emosional mereka.

    Menurut Meity Arianty, orangtua sebaiknya tidak langsung menuntut penjelasan atau memberi nasihat. Sebaliknya, ciptakan ruang aman agar anak merasa nyaman untuk bercerita.

    “Langkah pertama adalah mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan anak kesempatan untuk mengungkapkan perasaan dan pengalaman mereka secara terbuka,” ujar Meity.

    Dalam kondisi traumatis, anak sering kali merasa takut, malu, atau bersalah, padahal mereka adalah korban. Dengan mendengarkan secara aktif tanpa menyela, menilai, atau memaksa maka anak akan merasa bahwa mereka diterima dan didukung. Perasaan aman inilah yang menjadi fondasi awal bagi pemulihan psikologis mereka.

  2. Memberikan Dukungan Emosional yang Konsisten
    Pemulihan mental bukanlah proses yang instan. Anak yang menjadi korban penyebaran konten digital bermuatan seksual sering kali mengalami fluktuasi emosi dari sedih, marah, hingga merasa kehilangan harga diri.

    Tugas orangtua adalah menjadi sosok yang konsisten hadir dalam kehidupan anak selama proses penyembuhan. Meity menekankan pentingnya memberikan validasi terhadap emosi anak, bukan menolaknya.

    Hindari kalimat seperti “Sudahlah, lupakan saja” atau “Kamu harus kuat”, karena justru dapat membuat anak merasa bahwa perasaannya tidak penting. Sebaliknya, ucapkan kalimat yang menenangkan seperti, “Mama tahu kamu sedang sedih, dan itu wajar. Mama di sini untuk kamu.

    Dukungan semacam ini membantu anak merasa tidak sendirian, sekaligus memperkuat ikatan emosional antara orangtua dan anak. Terkadang, pelukan, waktu bersama, dan perhatian sederhana bisa menjadi bentuk terapi alami yang membantu anak kembali merasa dicintai dan dihargai.

  3. Libatkan Profesional Kesehatan Mental
    Tidak semua trauma bisa disembuhkan hanya dengan dukungan keluarga. Dalam kasus berat seperti deepfake porno, anak bisa mengalami stres pascatrauma (PTSD), depresi, atau gangguan kecemasan.

    Tanda-tanda yang perlu diwaspadai antara lain:

    • Anak sulit tidur atau sering mimpi buruk.
    • Kehilangan nafsu makan.
    • Menarik diri dari teman atau keluarga.
    • Sering menangis tanpa sebab.

    Jika hal-hal tersebut terjadi, orangtua harus segera mencari bantuan profesional, seperti psikolog, psikiater, atau konselor sekolah.“Orangtua juga harus mencari bantuan profesional, seperti psikolog atau konselor, untuk membantu anak mengatasi dampak emosional dan psikologis dari trauma tersebut,” tegas Meity.

    Pendampingan profesional membantu anak memproses pengalaman traumatis secara sehat, mengenali emosinya, serta membangun kembali rasa aman yang hilang. Terapi juga dapat mencegah trauma berkembang menjadi gangguan mental yang lebih serius di kemudian hari.

  4. Bekerja Sama dengan Sekolah dan Pihak Berwenang
    Kasus deepfake tidak bisa diselesaikan hanya di level individu atau keluarga. Diperlukan sinergi antara orangtua, sekolah, dan aparat hukum agar proses pemulihan dan perlindungan korban berjalan optimal.

    Orangtua perlu melapor kepada pihak berwenang seperti polisi, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), atau lembaga hukum terkait agar pelaku mendapat sanksi yang sesuai. Selain itu, bekerja sama dengan pihak sekolah penting untuk memastikan lingkungan pendidikan menjadi tempat yang aman bagi anak. Sekolah harus memiliki protokol perlindungan terhadap korban kekerasan digital, termasuk kebijakan penanganan kasus, pendampingan psikologis, dan pengawasan media sosial.

    Orangtua perlu bekerja sama dengan pihak sekolah, pihak berwajib, atau penyedia platform digital untuk menghentikan penyebaran konten tersebut dan melaporkannya kepada otoritas berwenang,” kata Meity.

    Kerja sama ini tidak hanya menghentikan penyebaran konten, tetapi juga memberi pesan kuat bahwa korban tidak sendirian melawan ketidakadilan.

  5. Edukasi Anak tentang Privasi dan Etika Digital
    Kasus di Semarang menjadi peringatan bahwa literasi digital bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Teknologi AI seperti deepfake kini mudah diakses, bahkan oleh individu tanpa keahlian tinggi. Karena itu, orangtua perlu mendidik anak tentang privasi digital dan etika bermedia sosial sejak dini.

    Anak harus memahami bahwa setiap foto, video, atau data pribadi yang dibagikan secara daring berpotensi disalahgunakan. Ajarkan mereka untuk berpikir dua kali sebelum mengunggah konten atau membagikan informasi pribadi.

    Beberapa hal yang bisa dilakukan orangtua antara lain:

    • Menjelaskan pentingnya keamanan akun dan kata sandi.
    • Mengajarkan etika digital, seperti menghormati privasi orang lain.
    • Menjelaskan risiko deepfake, catfishing, dan manipulasi digital.
    • Menggunakan fitur parental control untuk memantau aktivitas daring anak.

    “Memberikan edukasi tentang privasi digital dan cara menghindari risiko di dunia maya juga penting agar anak merasa lebih terlindungi di masa depan,” jelas Meity.

    Edukasi ini bukan bertujuan menakut-nakuti, tetapi membentuk kesadaran digital yang bertanggung jawab. Dengan pemahaman yang baik, anak akan lebih bijak dalam menggunakan teknologi serta mampu melindungi dirinya dari potensi bahaya di dunia maya.

  6. Dukung Proses Pemulihan Anak Secara Bertahap
    Trauma digital seperti yang dialami korban deepfake bukan sesuatu yang bisa hilang dalam hitungan hari atau minggu. Setiap anak memiliki tingkat ketahanan psikologis berbeda-beda, sehingga proses pemulihan pun tidak bisa disamaratakan.

    Orangtua perlu bersabar dan terus memberi dukungan jangka panjang. Tidak perlu menuntut anak untuk “cepat move on”, melainkan hargai setiap langkah kecil menuju kesembuhan.

    Proses pemulihan memerlukan waktu, namun dengan dukungan yang tepat, anak dapat merasa lebih kuat dan kembali membangun rasa percaya diri mereka,” tutur Meity.

    Dukungan bisa berupa memotivasi anak untuk kembali menjalani aktivitas positif, seperti sekolah, hobi, atau kegiatan sosial. Berikan apresiasi atas setiap kemajuan sekecil apa pun agar anak merasa dihargai.

Selain itu, penting bagi orangtua untuk memantau kondisi emosional anak secara berkala. Jika muncul tanda-tanda kemunduran atau stres yang memburuk, segera konsultasikan kembali dengan ahli.

 
Pelajaran dari Kasus Deepfake: Antara Teknologi dan Empati

Kasus deepfake porno di Semarang membuka mata banyak pihak bahwa kecanggihan teknologi tanpa etika dapat berujung petaka. Teknologi AI seharusnya membantu manusia, bukan menjadi alat penghancur martabat seseorang.

Namun, di sisi lain, kasus ini juga menunjukkan betapa pentingnya peran keluarga, pendidikan, dan kebijakan digital dalam menciptakan ruang siber yang aman. Orangtua memiliki posisi strategis untuk melindungi anak dari dampak negatif dunia digital bukan dengan melarang, tetapi dengan membekali pemahaman dan empati.

Pemulihan korban bukan hanya tentang menghapus video dari internet, melainkan juga tentang memulihkan rasa percaya diri dan kemanusiaan yang sempat hilang.

Dengan mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan dukungan emosional, melibatkan profesional, bekerja sama dengan sekolah, mengedukasi tentang privasi digital, dan mendampingi proses pemulihan secara sabar, anak dapat kembali menemukan rasa aman, harga diri, dan kepercayaan pada dirinya sendiri.

Teknologi boleh semakin canggih, tetapi peran empati manusia tetap tak tergantikan.

Bagikan artikel ini

Komentar ()

Video Terkait