AI dan Media Sosial: Deteksi Dini Tanda Depresi
- Mutiara Aisyah
- •
- 19 Okt 2025 22.22 WIB
Ilustrasi AI dan Media Sosial
Depresi bukan hanya sekadar masalah psikologis yang dialami individu, tetapi sebuah tantangan global yang membawa dampak besar bagi masyarakat luas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan lebih dari 280 juta orang di dunia hidup dengan depresi, yang berarti sekitar 3,8 persen populasi dunia sedang bergulat dengan kondisi ini. Angka tersebut bukan sekadar statistik; di baliknya terdapat cerita-cerita manusia yang kehilangan semangat, hubungan yang renggang, serta produktivitas yang menurun. Lebih mengkhawatirkan lagi, depresi merupakan salah satu faktor risiko utama bunuh diri, sehingga deteksi dini bukanlah sebuah kemewahan, melainkan sebuah kebutuhan mendesak. Dalam konteks inilah teknologi hadir menawarkan peran baru yakni membantu mengenali tanda-tanda depresi dari jejak digital yang ditinggalkan pengguna di media sosial
Media Sosial: Cermin Emosi Modern
Media sosial pada dasarnya adalah panggung di mana setiap orang bisa mengekspresikan dirinya. Dari unggahan foto di Instagram, cuitan singkat di Twitter, hingga curhatan panjang di Reddit, semua menjadi potret bagaimana seseorang berinteraksi dengan lingkungannya dan sekaligus mencerminkan kondisi batin. Penelitian karya Phi Ta, Nha Tran, Hung Nguyen, dan Hien D. Nguyen menyoroti fakta menarik yakni mereka yang mengalami depresi sering kali menunjukkan pola komunikasi yang berbeda dibandingkan dengan pengguna lain. Misalnya, lebih sering menggunakan kata-kata bernada negatif, mengekspresikan perasaan terisolasi, atau bahkan menyinggung ide tentang keputusasaan. Dengan memanfaatkan kecerdasan buatan, pola-pola ini dapat ditangkap dan dianalisis, memberi peluang besar untuk mendeteksi gejala depresi sebelum berkembang lebih parah
Dua Pendekatan: Post-level dan User-level
Salah satu kontribusi penting dari penelitian ini adalah membedakan dua pendekatan analisis: post-level dan user-level. Pada tingkat post-level, sistem berfokus pada analisis satuan kecil, misalnya satu cuitan di Twitter atau satu posting di Facebook. Setiap teks diproses secara independen untuk menilai apakah ia memuat tanda-tanda depresi. Teknologi transformer seperti BERT dan RoBERTa terbukti sangat efektif di sini karena mampu memahami konteks bahasa secara mendalam. Namun, pendekatan ini hanya memberikan gambaran sesaat, semacam foto instan dari kondisi psikologis pengguna pada satu momen tertentu.
Sebaliknya, pendekatan user-level lebih komprehensif, yang tidak hanya menilai satu posting, melainkan melihat pola keseluruhan perilaku pengguna dalam jangka waktu tertentu. Misalnya, seberapa sering pengguna aktif pada malam hari, topik apa yang paling sering mereka bicarakan, hingga variasi emosi yang muncul dari waktu ke waktu. Dengan model seperti LSTM atau GRU, pendekatan ini mampu membangun profil yang lebih menyeluruh tentang kondisi psikologis seseorang. Keduanya saling melengkapi dimana post-level cocok untuk deteksi cepat, sementara user-level berguna untuk pemahaman jangka panjang
Tantangan Data dan Model
Meski potensinya besar, penelitian ini juga menyoroti berbagai hambatan serius. Pertama, banyak dataset yang digunakan masih terbatas ukurannya, sering kali hanya beberapa ribu contoh. Ini membuat model deep learning rawan overfitting dan sulit diterapkan pada situasi nyata yang lebih kompleks. Kedua, bias bahasa juga menjadi masalah. Sebagian besar dataset tersedia dalam bahasa Inggris, padahal depresi adalah kondisi global yang diekspresikan dengan cara berbeda dalam berbagai budaya dan bahasa. Selain itu, media sosial penuh dengan tantangan unik, seperti penggunaan slang, singkatan, emoji, hingga kesalahan ketik, yang semuanya bisa mengaburkan makna dan menyulitkan analisis.
Tidak hanya itu, ada pula masalah data imbalance. Jumlah konten yang benar-benar mencerminkan kondisi depresi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan konten biasa. Akibatnya, model cenderung lebih sering “menebak aman” bahwa pengguna tidak depresi, meskipun ada sinyal kuat sebaliknya. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan pendekatan kreatif seperti resampling, data augmentation, atau desain algoritma khusus yang mampu menangani distribusi data tidak seimbang
Etika dan Privasi: Garis Tipis yang Tidak Boleh Dilanggar
Pertanyaan besar yang tidak bisa diabaikan adalah apakah etis menggunakan data media sosial seseorang untuk menilai kondisi mentalnya? Banyak pengguna mungkin tidak pernah membayangkan bahwa curhatan mereka bisa dijadikan bahan analisis oleh algoritma. Jika tidak ada aturan yang jelas, risiko penyalahgunaan sangat besar, mulai dari stigmatisasi hingga diskriminasi. Bayangkan jika hasil prediksi ini jatuh ke tangan pihak yang tidak bertanggung jawab, misalnya perusahaan asuransi atau perekrut kerja, yang kemudian menggunakan informasi tersebut untuk menolak seseorang.
Oleh karena itu, penelitian ini menegaskan pentingnya membangun kerangka kerja etis yang ketat. Data harus dianonimkan, persetujuan pengguna perlu diperoleh dengan jelas, dan model harus bisa dijelaskan (explainable), bukan sekadar “kotak hitam” yang mengeluarkan label depresi atau tidak. Di sinilah kolaborasi antara pakar teknologi, psikolog, hingga pembuat kebijakan menjadi sangat penting agar manfaat teknologi bisa dirasakan tanpa mengorbankan hak individu
Menuju Masa Depan Multimodal dan Interpretable AI
Salah satu arah masa depan yang dijanjikan penelitian ini adalah pendekatan multimodal. Artinya, bukan hanya teks yang dianalisis, tetapi juga gambar, interaksi sosial, bahkan waktu unggahan. Kombinasi berbagai sumber informasi ini diyakini bisa memberikan gambaran yang lebih utuh dan akurat tentang kondisi mental seseorang. Di sisi lain, ada kebutuhan mendesak untuk menjadikan AI lebih transparan dan dapat dipahami. Konsep explainable AI (XAI) diharapkan bisa menjawab tantangan ini, sehingga prediksi bukan sekadar angka, tetapi juga disertai alasan yang masuk akal dan dapat dipercaya, baik oleh tenaga medis maupun pengguna.
Dengan demikian, karya Phi Ta, Nha Tran, Hung Nguyen, dan Hien D. Nguyen tidak hanya menjadi catatan akademik, tetapi juga batu loncatan penting menuju sistem deteksi depresi berbasis AI yang lebih akurat, etis, dan bermanfaat. Masa depan yang mereka tawarkan bukan hanya tentang teknologi yang semakin pintar, tetapi juga tentang bagaimana teknologi tersebut bisa benar-benar membantu manusia, khususnya mereka yang tengah berada di titik rapuh kehidupannya
Catatan: Artikel ini merujuk pada penelitian “Detecting signs of depression on social media: A machine learning analysis and evaluation” yang ditulis oleh Phi Ta, Nha Tran, Hung Nguyen, dan Hien D. Nguyen, diterbitkan dalam Sustainable Futures (Volume 10, 2025, 100827, ISSN 2666-1888).
